Sebenernya banyak tema-tema
lain yang pengen disampaikan daripada tema ini. Yah, banyak bahan tapi tak
tersampaikan. Malah bahan baru yang akhirnya tersampaikan lebih dahulu. Sebelumnya
saya mohon maaf apabila bahasan ini cenderung pada pendapat pribadi saja,
semoga masih memiliki manfaat.
Sebuah dilema memang melihat zaman sekarang ini, dimana
modernisasi berkembang pesat dalam semua sektor kehidupan. Dari yang namanya
ideologi sampai teknologi (dipaksa) berkembang mengikuti zaman, yang
menyebabkan lunturnya nilai-nilai budaya, sedikit demi sedikit, namun pasti.
Seperti
yang diungkapkan sebelumnya, modernisasi mencangkup semua aspek. Tak terkecuali manusia-manusianya. Dan yang menurut saya paling kentara adalah manusia jenis wanita. Kenapa?? Semenjak digadang-gadangnya gerakan emansipasi wanita yang menurut sejarah di Indonesia dirintis oleh Ibu Kita Kartini, karakter wanita semakin terangkat. Mereka mempunyai hak yang sama seperti halnya laki-laki. Salahkah? Tak ada yang salah, emansipasi memang merupakan penyetaraan hak termasuk dalam berkarir. Terus dimana titik masalah yang akan dibahas?
yang diungkapkan sebelumnya, modernisasi mencangkup semua aspek. Tak terkecuali manusia-manusianya. Dan yang menurut saya paling kentara adalah manusia jenis wanita. Kenapa?? Semenjak digadang-gadangnya gerakan emansipasi wanita yang menurut sejarah di Indonesia dirintis oleh Ibu Kita Kartini, karakter wanita semakin terangkat. Mereka mempunyai hak yang sama seperti halnya laki-laki. Salahkah? Tak ada yang salah, emansipasi memang merupakan penyetaraan hak termasuk dalam berkarir. Terus dimana titik masalah yang akan dibahas?
Masalah utamanya adalah , jujur saya tak setuju dengan
wanita yang punya suami bekerja tapi masih pengen berkarir. Entah kenapa gak
suka, padahal menurut hematnya beban suami jadi berkurang, iya kan? Namun, saya
berbeda pandangan dengan wanita yang bekerja. Lhah, lhoh kok bisa?? Bagi saya perlu
digaris bawahi bahwa berkarir beda dengan bekerja.
Bekerja menurut hemat saya adalah mencari penghasilan,
sedangkan berkarir adalah bekerja dengan tujuan mendapatkan promosi jabatan setinggi-tingginya.
Tentu memakan banyak sekali pikiran dan tenaga. Konsentrasi hanya ada di
pekerjaan. Makan, minum, mandi, ngelamun, sampe tidurpun kepikiran kerjaan. Berangkat
pagi-pagi, pulang dini hari pun ditempuh. Cowok banget ya kliatannya.
Namun, saat ini fenomena cewek berkarir bak jamur dimusim
ujan. Kalo masih single sih gak papa lah ya, namun klo sudah berkeluarga dan suami
berpenghasilan cukup? Masih bolehkah wanita mengejar karir? Boleh-boleh saja,
semua tergantung diskusi dalam rumah tangganya. Namun, sekali lagi menurut
saya, itu semua perlu disayangkan. Bukankah
wanita lebih anggun jika di rumah mengurus internal rumah tangga saja, seperti mencurahkan perhatian kepada suami, mengasuh
buah hati, memasak, merawat keelokan rumah, dan mencurahkan semua perhatiannya
kepada bahtera rumah tangganya??
Berkeluarga atau menikah adalah menjadi pendamping hidup
orang yang kita cintai dan sayangi. Namun apa dikata jika seorang pendamping tidak
bisa mendampingi pasangan karena kesibukannya dalam berkarir? Lebih-lebih
seorang wanita. Wanita diciptakan sebagai makhluk paling lemah lembut di muka
bumi ini. Lambang kasih sayang dan cinta. Sosok yang paling dihargai dimuka
bumi. Betul kan?
Nah kalo betul, suami mana yang tega melihat “perhiasan
terindah”nya itu selalu pulang kerja larut malam, stres menghadapi tekanan
pekerjaan, belum lagi dibentak-bentak oleh bosnya kalo salah. Suami mana yang
rela kehilangan perhatian dari istri tercintanya karena kesibukannya dalam
bekerja. Dimana sosok wanita yang penuh kasih sayang jika otaknya dipenuhi
tuntutan pekerjaan?
Saya pribadipun tidak melarang istri saya kelak bekerja,
asal jangan sampai konsentrasi berkarir. Kerja ya kerja, rumah tangga ya rumah
tangga. Tetap menjadi sosok istri yang selalu ada ketika dibutuhkan oleh suaminya,
baik kasih sayang maupun perhatiannya. Menguatkan ketika suami dalam masa sulit. Menemani ketika suami dilanda kesedihan. Menenangkan ketika suami terbakar emosi. Kartini yang sebagai perintis emansipasi
saja tidak berkarir, karena memang yang dimaksud dengan emansipasi adalah
persamaan hak, sedangkan kewajiban tetap dijunjung sesuai kodratnya
masing-masing. Pria dan wanita punya kewajiban sendiri-sendiri. Saling melengkapi.
Tak ada benturan dan dualisme kewajiban. Bukankah begitu?
Semoga kita selalu berada pada jalur yang sudah ditetapkan
oleh-Nya, sederas apapun arus modernisasi dan perkembangan budaya yang terjadi.
Aamiin.
Wassalamu’alaikum wr. wb.
No comments:
Post a Comment